Dua remaja putri yang duduk di kursi terdakwa di ruang Cakra 2, Pengadilan Negeri (PN) Medan terus menunduk. Menatap ke lantai sambil menunggu Hakim Agung Sri Wahyuni menjatuhkan putusan yang akan menentukan nasib mantan pekerja apotek tersebut. Keduanya adalah Okta Rina Sari (21), warga RT 1, Desa Namogajah, Kecamatan Medantuntung dan Sukma Rizkiyanti Hasibuan (23), warga Jalan Pematangpasir Gang Tapsel, RT 14, Desa Tanjungmulia, Kecamatan Medandeli, Kota Medan. Memutuskan untuk menjatuhkan pembebasan atau Vrijspraak kepada terdakwa Okta Rina Sari dan Sukma Rizkiyanti Hasibuan karena berdasarkan fakta persidangan mereka tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar pasal-pasal yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum. kemampuan, kedudukan, harkat dan martabat., "kata hakim sambil mengetukkan palu, Rabu (27/1/2021) kemarin. Jaksa menuntut 2 tahun penjara, ditahan sejak Juli 2020
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Vernando Agus Hakim dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan mendakwa kedua terdakwa melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP juncto Pasal 360 ayat (2) KUHP, kemudian didakwa keduanya dua tahun penjara. Tak hanya itu, jaksa juga menahan kedua terdakwa pada 2-21 Juli 2020. Pengadilan Negeri Medan juga memperpanjang penahanan dari 22 Juli menjadi 8 November 2020. Pada tanggal 3 November, pembekuan kedua terdakwa yang diajukan oleh kuasa hukum diberikan oleh hakim sesuai dengan Penetapan Nomor: 2258 / Pid.Sus / 2020 / PN Mdn. Padahal, sejak dilaporkan ke Polres Medan, penyidik belum menahan mereka. Pengacara hukum: keduanya bukan pengelola narkoba ...
Kuasa hukumnya, Maswan Tambak, mengungkapkan kegembiraan dan kelegaan atas perasaan kedua terdakwa, saat dihubungi Kompas.com, Senin (1/2/2021) melalui pesan singkatnya. Maswan adalah Kepala Bidang Perburuhan dan Miskin Kota pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. “Kami mengapresiasi putusan hakim, majelis sudah secara obyektif melihat fakta persidangan sehingga layak untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan,” kata Maswan. Dalam putusan tersebut, lanjut Maswan, majelis hakim menilai berdasarkan fakta persidangan yang menyatakan bahwa kedua terdakwa tidak memberikan obat kepada Yusmaniar, melainkan seorang pegawai lain, yaitu Endang Batubara. Duduk kopernya
Saat membeli obat pada 6 November 2018, kedua terdakwa belum bekerja di Apotek Istana 1. Membeli obat pada tanggal 3 Desember 2018, barulah terdakwa Sukma yang bekerja tetapi tidak di bagian yang melayani pembelian obat. . Kasus tersebut bermula pada 6 November 2018, setelah Yusmaniar dirawat di Klinik Ibu Jalan Sisingamangaraja Nomor 17 Medan. Dokter memberinya resep, lalu pergi ke Apotek Istana 1 di Jalan Iskandar Muda, Kota Medan untuk menebus resepnya. Pegawai penerima resep ragu-ragu dengan salah satu tulisannya, dihubungi dokter tapi tidak diangkat telponnya. Tidak mau gegabah, karyawan tersebut mengembalikan resep tersebut. Pada 13 Desember 2018, Yusmaniar menyuruh putranya untuk membeli obat menggunakan resep tertanggal 6 November 2018. Narkoba Amaryl M2 menyebabkan korban tidak sadarkan diri Anak Yusmaniar meminta temannya untuk membeli obat di Apotek Istana 1. Saat itu Endang Batubara yang menerima resep dan memberi obat. Setelah beberapa hari meminum obat tersebut, pada 15 Desember 2018, Yusmaniar jatuh sakit dan mendapat perawatan di RS Materna. Kemudian pada 17 Desember 2018, ia dilarikan ke Rumah Sakit Royal Prima karena tidak sadarkan diri. Hasil diagnosis diketahui karena mengonsumsi obat Amaryl M2. “Obat Amaryl M2 itu obat yang diragukan oleh petugas apotek, maka dia menghubungi dokter untuk memastikannya. Karena teleponnya tidak dijawab, dia tidak berani, dia kirim resepnya kembali. Ketika sudah ditebus dan diterima oleh Endang Batubara, obat ini dikasih. Tanggal 21 Desember 2018, anak korban melapor. Polisi salah mengira obat dan dua tersangka itu tersangka, "kata Maswan. Jaksa mengajukan banding Atas putusan hakim tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Menanggapi hal tersebut, Maswan mengaku siap menghadapinya. “Kalau kita tunggu saja, jika naik banding akan kita hadapi. Kita masih membahas upaya hukum untuk mengganti kerugian. Saya mungkin menghadapi departemen kesehatan dan asosiasi apoteker, ini masalah serius bagi sistem kerja di farmasi, dari tenaga kerja hingga obat, "ujarnya. . Pemerintah melalui Dinas Kesehatan dan asosiasi apotek dan apoteker harus berperan aktif dalam pengawasan dan penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian.
Penggunaan tenaga ahli di bidangnya adalah wajib, kemudian dilakukan pengawasan yang intens terkait tenaga kerja dan jenis obat yang dijual di apotek.
Ke depan, perlu ada regulasi yang mengatur tentang batasan usia apoteker. Karena tidak ada pengawasan berkala, atau hanya menunggu keluhan dari masyarakat, keberadaan Dinas Kesehatan menjadi sia-sia.
“Fakta di persidangan jelas, dinas kesehatan tidak tegas, apalagi setelah pelayanan mengecek apotek, ternyata pemilik apotek masih menggunakan apoteker yang sama dalam hal ini. Umurnya 71 tahun,” katanya. tutup Maswan.
0 Komentar